Thursday, February 7, 2008

HARTA KARUN untuk SEMUA

Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com datang.
Ada satu buku yang langsung saya sambar dan baca seketika.
Judulnya: "Stuff – The Secret Lives of Everyday Things". Buku itu tipis,
hanya 86 halaman,tapi informasi di dalamnya bercerita tentang perjalanan
ribuan mil dari mana barang-barang kita berasal dan ke mana barang-barang kita berakhir.

Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik memakan
waktu ratusan tahun untuk musnah,saya sering merenung: orang gila mana yang
mencipta sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa penggunaannya hanya
dalam skala jam-bahkan detik? Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluh detik
di tangan,lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah dan baru hancur setelah sipemakan
permen menjadi fosil.

Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa plastik, tanpa cat,tanpa deterjen,
tanpa karet, tanpa mesin,tanpa bensin, tanpa fashion. Dan sebagai konsumen dalam
sistem perdagangan modern,sejak kita lahir rantai pengetahuan tentang awal dan akhir
dari segala sesuatu yang kita konsumsi telah diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk
mau tahu ke mana kemasan styrofoam yang membungkus nasi rames kita pergi,berapa banyak
pohon yang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam saja,beban polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta.

Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang terasa
wajar-wajar saja,pernahkah kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita bisa
menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat berat tubuh kita sendiri?
Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk mencuci
secangkir kopi,kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapis daging
burger yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar 2,400 liter air.
Produksi satu set PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja kita menghasilkan 62 kg limbah,memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan
chip kecil yang bekerja di dalamnya?
Limbah yang dihasilkan untuk memproduksinya 4,500 kali lipat lebih berat daripada berat
chip itu sendiri.

Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai reaksi. Kita bisa frustrasi
karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup yang tak bisa dikompromi,kita bisa juga
semakin apatis karena tidak mau pusing. Yang jelas, sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya dibuka. Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun dan membedah
jantung katak,dapat dibuat lebih empiris dengan mempelajari hulu dan hilir dari benda-benda
yang kita konsumsi, sehingga tanggung jawab akan alam ini telah disosialisasikan sejak kecil.

Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai,Pasar Baru,
atau berjalan-jalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada lautan PKL :
tidakkah semua baju dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan
penduduk satu kota? Tapi kenapa barang-barang ini tidak ada habisnya diproduksi?
Setiap hari selalu ada jubelan pakaian baru yang menggelontori pasar.
Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan melihat
ratusan macam biskuit, ratusan varian mie instan,dan ratusan merk sabun:
haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu?

Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh melebihi apa
yang kita butuhkan?

Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam setahun,
bahkan lebih.
Atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidak berbatas.
Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihan
panganan dalam sehari.
Atas nama selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan sanggup memenuhi
keinginan satu manusia.

Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai kaca mata.
Seorang ekonom mungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi.
Seorang sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan.
Tapi jika kita runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah kumpulan
negara, negara adalah kumpulan kelompok,dan kelompok adalah kumpulan individu,
permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita.
Dan kesadaran serta kemauan kitalah yang pada akhirnya akan
memungkinkan sebuah perubahan sejati.

Belum pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan harian kita menjadi
sangat menentukan. Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protocol Kyoto,
tidak perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap,
setiap langkah kita-memilih merk, kuantitas, tempat, gaya
hidup-adalah pilihan politis dan ekologis yang menentukan masa depan
seisi Bumi.

Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen saya
bekerja, tapi saya bisa lebih awas dengan jam penggunaan dan mematikannya jika
tidak perlu.
Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi,
tapi saya bisa memilih membaca berita lewat internet atau membaca
koran di tempat publik ketimbang berlangganan langsung.

Bagaimana dengan fashion?
Di dunia citra ini, dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di
muka publik, saya pun belum bisa mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli
busana lebih sering dari yang dibutuhkan),
tapi saya bisa membuat komitmen dengan lemari pakaian, yakni baju
yang saya miliki tidak boleh melebihi kapasitas lemari saya.
Jika lebih, maka harus ada yang keluar.
Dan setiap beberapa bulan saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada
baju yang tidak saya pakai setahun lebih
atau baju yang cuma sekali dipakai dan tak pernah lagi.
Bukan cuma baju, ada juga buku, pernik rumah, alat dapur, bahkan
sabun dan sampo yang utuh tak disentuh.
Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta karun',
yang berisikan barang-barang yang harus keluar dari peredaran, karena
jika dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi unsur manfaat.
Harta karun ini lantas harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran.

Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan
bazaar. Para warga menyewa stand untuk berjualan.
Saya ikut berpartisipasi, dan sayalah satu-satunya penjual barang
bekas di antara penjual barang-baru baru.
Karena bukan demi cari untung, barang-barang itu saya lepas dengan
harga sangat murah.
Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga dari kampung
sekitar.
Hari pertama, saya sudah kehabisan dagangan.
Terpaksa saya mengontak saudara-saudara saya yang barangkali juga
punya barang bekas untuk disalurkan.
Sama dengan saya, mereka pun punya timbunan harta karun yang entah
harus diapakan.
Stand saya menjadi salah satu stand paling laris selama bazaar
berlangsung.
Dan kakak saya terkaget-kaget dengan penghasilan yang ia dapat dari
tumpukan barang yang sudah dianggap sampah.

Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara
kreatif lain untuk memanfaatkan harta karun kita,termasuk juga disumbangkan.
Namun yang lebih sukar adalah memulai membuat komitmen-komitmen
pembatasan diri. Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian, dengan rak kamar
mandi, dengan laci dapur, dan pada intinya... dengan diri sendiri.
Siapkah kita menentukan batasan dan berjalan dalam koridor itu?

Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengendalian diri dari awal bersua
aneka pilihan yang membombardir kita setiap hari,
lalu sadar dan mawas akan rantai sebab-akibat yang menyertai pilihan
kita. Membuka diri untuk info dan pengetahuan ekologi adalah salah satu
cara pembekalan yang baik. Walaupun sekilas tampak merepotkan dan bikin frustrasi,
tapi kantong kresek yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang oleh sihir,
dan hamburger yang kita makan tidak dipetik dari pohon. Rantai yang
menyertai barang-barang itu tidak akan hilang hanya karena kita
menolak tahu.

Banyak orang yang berkomentar pada saya, "Aduh, Wi. Kamu bikin hidup
tambah susah saja." Dan mereka benar. Hidup ini tak mudah.
Untuk itu kita justru harus belajar menghargai setiap jengkalnya.
Memilih hidup yang lebih sederhana, hidup dengan tempo yang lebih
pelan, hidup dengan pengasahan kesadaran,
tak hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi juga
membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang dijadikan alas kaki
oleh industri demi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri.

Lingkaran setan?
Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup berubah.Selama ini kita
adalah pembeli yang berlari.
Dalam kecepatan tinggi kita bertransaksi, sabet sana sabet sini,
tanpa tahu lagi apa yang sesungguhnya kita cari.

Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan. ***

Oleh : Dewi Lestari (Dee),penulis buku Supernova

1 comment:

Lady Mia said...

KABAR BAIK!!!

Nama saya Mia.S. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 JUTA) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.

Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena aku berjanji padanya bahwa aku akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman dalam bentuk apapun, silahkan hubungi dia melalui emailnya: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com

Anda juga dapat menghubungi saya di email saya ladymia383@gmail.com dan miss Sety yang saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia dia juga mendapat pinjaman dari Ibu Cynthia baru Anda juga dapat menghubungi dia melalui email nya: arissetymin@gmail.com Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk bertemu dengan pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening bulanan.

Oke Zone Breaking News

Iklan

Check Page Rank of any web site pages instantly:
This free page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service